Wajahsiberindonesia.com – Ketika Squid Game tayang perdana di Netflix pada tahun 2021, dunia sontak terpaku. Serial asal Korea Selatan ini bukan hanya menyajikan cerita dramatis dan visual yang memukau, tetapi juga memicu pertanyaan penting:
“Apakah permainan berdarah seperti itu benar-benar ada di dunia nyata?”
Di balik narasi fiksi yang mendebarkan, Squid Game menyentuh titik paling sensitif dalam masyarakat modern—keputusasaan, ketimpangan, dan kegilaan atas uang.
Sebagai jurnalis yang telah menyaksikan perubahan sosial selama empat dekade, saya akan membahas: sejauh mana Squid Game merupakan cermin dari dunia nyata, dan apakah permainan seperti itu benar-benar bisa terjadi?
Dunia Nyata yang Lebih Kejam dari Fiksi
Meski secara teknis Squid Game adalah karya fiksi, namun faktanya, dunia kita sering kali lebih kejam dari apa yang digambarkan dalam drama itu. Dalam kehidupan nyata, tak sedikit orang yang:
-
Bekerja siang dan malam demi membayar utang tanpa akhir.
-
Berkompetisi secara brutal hanya untuk mendapat pekerjaan dengan upah minimum.
-
Menjadi tontonan publik dalam acara reality show yang mengeksploitasi penderitaan demi rating.
Maka pertanyaannya bukan lagi “Apakah Squid Game nyata?”, melainkan: “Apakah kita sadar bahwa hidup kita tak jauh berbeda dari permainan tersebut?”
Di dalam Squid Game, para peserta bukanlah kriminal, melainkan orang-orang biasa yang terhimpit ekonomi: ayah pengangguran, imigran, mahasiswa dropout, hingga ibu rumah tangga yang ditipu.
Hal ini mencerminkan krisis moral yang lahir dari sistem ekonomi yang timpang, di mana manusia dijebak untuk mempertaruhkan nyawa demi kebebasan finansial. Apakah ini hanya terjadi dalam serial?
Tidak. Lihatlah fakta:
-
Di beberapa negara berkembang, pekerja tambang mempertaruhkan nyawa mereka setiap hari demi sesuap nasi.
-
Buruh migran dieksploitasi, tinggal di barak sempit, bekerja 18 jam sehari.
-
Banyak orang terlibat pinjaman online ilegal, diintimidasi dan dipermalukan karena gagal bayar.
Semua ini terjadi tanpa permainan anak-anak, tapi hasil akhirnya sama: penderitaan, kehilangan martabat, bahkan kematian.
Salah satu daya tarik Squid Game adalah ironi: permainan masa kecil dijadikan alat pembunuhan. Ini bukan hanya kejutan artistik, tapi juga metafora yang dalam:
-
Anak-anak bermain untuk bersenang-senang.
-
Orang dewasa “bermain” untuk bertahan hidup.
Permainan seperti “Lampu Merah Lampu Hijau”, “Kelereng”, hingga “Tarik Tambang” dalam Squid Game adalah simbol bahwa hidup orang dewasa seringkali tak lebih dari rangkaian ujian tanpa ampun—di mana yang lemah akan tersingkir, dan yang cerdik bisa bertahan.
Media dan Kapitalisme: Ketika Derita Menjadi Komoditas
Salah satu pesan penting Squid Game terletak pada “penonton” misterius yang menyaksikan permainan berdarah itu sambil bersulang dan tertawa. Mereka adalah simbol dari para elite yang menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan.
Mirisnya, hal seperti ini juga terjadi di dunia nyata. Kita melihat:
-
Reality show yang mengadu orang miskin untuk berebut hadiah.
-
Konten viral yang mengeksploitasi kemiskinan atau kesedihan demi “likes”.
-
Tayangan “bantuan” yang direkam untuk menaikkan citra, bukan untuk tulus menolong.
Tanpa disadari, media modern telah menjadikan manusia sebagai komoditas. Apa bedanya dengan Squid Game?
Walau belum ada bukti konkret tentang Squid Game versi pembunuhan nyata, versi ringan dan “legal”-nya mulai bermunculan. Pada 2023, Netflix merilis Squid Game: The Challenge—reality show yang meniru permainan dalam serial, namun tanpa unsur kekerasan.
Namun, kontroversi tetap muncul. Banyak peserta mengeluh pingsan karena suhu dingin, stres, dan tekanan tinggi. Artinya, bahkan dalam versi “aman”, Squid Game tetap berbahaya secara mental dan fisik.