Oleh: Prof.H.Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Wajahsiberindonesia.com – Tema tulisan di atas adalah bahagian penting dari sambutan Menteri Agama RI Prof. Nasaruddin Umar pada pembukaan SILTANAS FKUB dan Lembaga Keagamaan yang berlangsung di Atria Hotel Serpong Tangerang, 05-7 Agustus 2025.
Dalam sambutan serius dan cukup lama Menag memberikan pandangannya terhadap prasyarat kerukunan dari formalistik menjadi maindset semua anak bangsa yang majemuk ini, ia juga menegaskan esensi harmoni yang intinya ukhuwah semua umat beriman (QS.Al Hujurat, 10), latar dan tujuan dipromosikan kurikulum cinta.
Cinta milik semua agama, milik Tuhan dan milik alam semesta.
KERUKUNAN ORISINIL
Kerukunan antarumat beragama selama ini sering digambarkan dalam bentuk yang seremonial—tampak di permukaan melalui forum-forum dialog, pertemuan lintas iman, dan kesepakatan damai yang bersifat administratif.
Kerukunan di alam rasional yang mestinya terus dikembangkan pada sipritual.
Menteri Agama dalam salah satu sambutannya mengangkat dimensi yang lebih dalam dari kerukunan: bahwa ia bukan hanya soal formality, tetapi juga state of mind—keadaan kesadaran kolektif yang menuntut lebih dari sekadar kesepakatan, yakni pemahaman dan penerimaan yang tulus atas perbedaan.
Kerukunan: Lebih dari Simbolik
Di dalam realitas sosial, kerukunan seringkali hadir sebagai produk dari hegemoni—di mana norma-norma mayoritas menentukan batas ekspresi kelompok minoritas. Hegemoni ini bisa menciptakan harmoni semu: tenang di permukaan, tapi menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak jika tekanan sosial meningkat.
Dalam konteks ini, kerukunan menjadi sesuatu yang dipaksakan demi stabilitas, bukan hasil dari interaksi yang sehat dan setara.
Menteri Agama mengajak tokoh umat beragama untuk melampaui kerukunan yang bersifat simbolik ini. Kita diajak untuk memahami bahwa kerukunan yang sejati bukan dibangun karena kita harus rukun, tetapi karena kita ingin rukun. Perbedaan bukan lagi dianggap ancaman, melainkan bagian dari kekayaan kolektif yang harus dipelajari, dipahami, dan dihargai.
Harmoni sebagai Kesadaran Bersama.
Dalam perspektif ini, kerukunan adalah state of mind—ia tumbuh dari dalam diri masyarakat, dari cara pandang yang terbuka, dari pendidikan yang mendorong empati, dan dari budaya yang memberi ruang bagi keberagaman. Harmoni menjadi hasil dari proses internalisasi nilai, bukan instruksi vertikal dari negara atau elite agama.
Namun, bukan berarti negara kehilangan peran. Justru di sinilah negara perlu hadir sebagai fasilitator kesadaran, bukan sekadar regulator formalitas. Negara harus mendorong inklusivitas, menegakkan keadilan, dan menjamin bahwa setiap kelompok memiliki hak yang setara dalam ruang publik.
Menjaga Keseimbangan antara Struktur dan Kesadaran.
Penting untuk diakui bahwa formalisasi kerukunan tetap dibutuhkan sebagai fondasi struktural. Tetapi tanpa diiringi kesadaran kolektif, struktur itu bisa menjadi kosong. Maka, tugas besar ke depan bukan hanya merancang kebijakan, tetapi juga membentuk kesadaran. Bukan hanya merayakan keberagaman di panggung-panggung seremonial, tapi menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari.
Penutup: Jalan Menuju Kerukunan Sejati
Sambutan Menag ini mengingatkan kita bahwa harmoni bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Ia adalah hasil dari perjuangan panjang melawan prasangka, intoleransi, dan ketakutan terhadap yang berbeda. Dan perjuangan itu bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab setiap warga bangsa.
Kerukunan yang sejati adalah ketika harmoni lahir bukan karena dikontrol oleh hegemoni, melainkan karena ditumbuhkan melalui pemahaman, penghormatan, dan cinta akan keberagaman. Inilah jalan menuju Indonesia yang tidak hanya damai di permukaan, tetapi juga tenteram dalam pikiran dan jiwa warganya.
Kesimpulan
Tulisan ini menegaskan bahwa kerukunan antarumat beragama di Indonesia selama ini lebih banyak bersifat formalitas dan simbolik, yang seringkali merupakan produk hegemoni mayoritas atas minoritas sehingga menciptakan harmoni yang rapuh dan rentan konflik.
Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengajak untuk mengubah paradigma kerukunan menjadi sebuah state of mind—kesadaran kolektif yang tulus dan mendalam yang menjadikan perbedaan sebagai kekayaan bersama. Harmoni sejati lahir dari proses internalisasi nilai inklusivitas, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman, bukan hanya dari aturan atau regulasi formal. Negara memegang peran penting sebagai fasilitator kesadaran dan penjamin keadilan, bukan hanya sebagai regulator formal. Dengan demikian, kerukunan harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya seremoni.
Rekomendasi
1.Mengembangkan Pendidikan Multikultural dan Kurikulum Cinta
Memperkuat pendidikan yang menanamkan nilai-nilai penghormatan, empati, dan cinta terhadap keberagaman di semua jenjang pendidikan sebagai fondasi membangun kesadaran kolektif.
2.Mendorong Dialog dan Interaksi Sehat Antarumat Beragama
Memperluas ruang dialog yang bukan hanya bersifat formal, tetapi juga membangun relasi personal dan sosial yang setara dan tulus antar kelompok keagamaan.
3.Peran Negara sebagai Fasilitator, Bukan Sekadar Regulator
Pemerintah harus aktif mendorong inklusivitas, menegakkan keadilan sosial, serta memastikan hak-hak semua kelompok terpenuhi secara adil dalam kehidupan publik.
4.Mengubah Praktik Kerukunan dari Simbolik ke Praktik Sehari-hari.
Mengintegrasikan nilai-nilai kerukunan dan harmoni dalam kebijakan, budaya organisasi, dan praktik sosial yang nyata sehingga menjadi bagian hidup masyarakat.
5.Melawan Hegemoni yang Menekan Minoritas
Menghapus praktik-praktik dominasi mayoritas yang menciptakan harmoni semu dengan menggantinya dengan hubungan sosial yang egaliter dan saling menghormati. DS. SilatnasFKUBatriaserpong05-07-2025..