Wajahsiberindonesia.com – Namanya Dimas. Usianya baru delapan belas tahun, tapi hidup sudah lebih dulu mengajarinya arti kata tanggung jawab.
Sementara teman-temannya bersiap menuju kampus impian, ia justru melangkah ke bengkel kecil di ujung jalan — tempat di mana suara mesin menjadi musik hari-harinya.
Bukan karena ia tak punya mimpi. Justru karena ia punya mimpi yang besar.
Hanya saja, jalan menuju ke sana tak semulus yang diharapkan.
Uang kuliah terlalu mahal, sedangkan ibunya masih berjuang dengan dagangan kecil di rumah.
Jadi, Dimas memilih bekerja.
Ia tahu, kadang mimpi harus menunggu — tapi tidak harus padam.
🌤️
Setiap pagi, ia menyalakan motor rusak pelanggan sambil berdoa diam-diam:
“Semoga suatu hari nanti, aku bisa belajar lagi.”
Di sela istirahat, ia membaca lewat ponsel retak.
Tentang ilmu, tentang kehidupan, tentang cara menjadi lebih baik.
Ia belajar di tempat yang mungkin orang lain anggap tidak layak untuk belajar.
Tapi baginya, setiap tempat adalah ruang ilmu,
setiap hari adalah kelas,
dan setiap tantangan adalah ujian.
💭
Kadang lelah datang tanpa diundang.
Tubuhnya pegal, tangannya kotor, tapi pikirannya tak pernah berhenti bermimpi.
Ia tahu hidup bukan perlombaan,
ia hanya ingin terus berjalan —
meski perlahan,
asal tak berhenti.
💡
“Kalau bukan sekarang aku berjuang,
kapan lagi?” katanya suatu malam,
saat menghitung sedikit gaji yang disisihkannya untuk tabungan kuliah.
Ia percaya,
kesuksesan bukan milik mereka yang beruntung,
tetapi milik mereka yang tidak menyerah.
🌅
Suatu hari nanti, mungkin Dimas akan sampai juga di kampus impiannya.
Atau mungkin tidak.
Tapi satu hal pasti —
ia sudah menjadi pribadi yang kuat, yang belajar bukan karena diwajibkan,
melainkan karena hatinya mencintai ilmu.
Dan di sanalah,
di tengah bunyi mesin dan debu jalanan,
mimpi itu masih menyala.
Kecil, tapi tidak pernah padam.







