Wajahsiberindonesia.com, Meranti — Kembali muncul dugaan pelanggaran hukum di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti. Kali ini, fokusnya adalah rehabilitasi berat Kantor Bupati, di mana pekerjaan interior plafon diduga telah dilaksanakan sebelum adanya kontrak resmi pada Senin (02/06/2025).
Sebagaimana dilaporkan oleh sumber media, investigasi di lapangan menemukan bahwa pemasangan plafon dimulai sejak September 2024, sementara kontrak baru ditandatangani pada November 2024. Ini menandakan bahwa pekerjaan dilakukan lebih awal, tanpa didahului proses administrasi yang seharusnya. Aturan yang berlaku menyatakan bahwa pelaksanaan proyek tidak boleh dimulai sebelum kontrak ditandatangani.
Lebih parahnya, kegiatan ini berlangsung bersamaan dengan pemeriksaan semesteran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada bulan September. Feni Utami, Kabid Cipta Karya Dinas PUPR, bahkan dipanggil untuk memberikan klarifikasi. Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Lebih jauh, penelusuran menunjukkan bahwa pola serupa mungkin terjadi di proyek-proyek lain dalam Dinas PUPR. Pelaksanaan fisik yang mendahului dokumentasi bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga membuka peluang untuk tindak pidana korupsi. Praktik semacam ini mencerminkan lemahnya budaya kepatuhan hukum di lingkungan tersebut.
Proses pengadaan melalui e-Katalog juga menjadi sorotan. Terdapat dugaan bahwa menu e-Katalog dari penyedia mirip dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh dinas. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah informasi HPS telah bocor ke penyedia? Atau memang ada pengondisian dari awal?
Praktik ini jelas melanggar prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mengharuskan pelaksanaan yang efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau, Maruli Purba, SH, menegaskan bahwa pengadaan barang dan jasa sebelum adanya kontrak adalah pelanggaran hukum. “Kontrak adalah dasar hukum bagi pelaksanaan pekerjaan. Tanpa itu, semua pelaksanaan fisik tidak sah,” ujarnya kepada media pada 28 Mei 2025.
Ia juga menekankan bahwa Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres Nomor 12 Tahun 2021 secara tegas melarang pekerjaan dilakukan sebelum adanya dokumen kontrak yang sah. Dalam KUHPerdata Pasal 1313, perjanjian diakui sebagai kesepakatan hukum yang mengikat dua pihak.
Dari sisi lain, mantan Penuntut Umum KPK, Zet Tadung Allo, mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen kasus korupsi di Indonesia bersumber dari sektor pengadaan barang dan jasa. “Ini sektor yang sangat rawan, penuh mark-up dan manipulasi. Banyak yang belum terungkap, seperti gunung es,” tegasnya.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terbaru tahun 2024, ditemukan sejumlah temuan serius, termasuk terbatasnya akses BPK terhadap data yang diperlukan dalam audit, yang diduga dipersulit oleh oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pasal 24 Ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK menyatakan bahwa setiap pihak wajib memberikan informasi dan data secara lengkap dan tepat waktu kepada BPK. Dugaan upaya menghalangi proses audit adalah pelanggaran serius.
Pengelolaan keuangan daerah bukan hanya sekedar administrasi, tetapi juga mencerminkan integritas dan kepatuhan terhadap hukum. Hal ini seharusnya dilakukan sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Dugaan pelanggaran ini perlu menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum, termasuk BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Penelusuran lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap apakah praktik ini merupakan bagian dari pola sistematis yang telah berlangsung lama di Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Meranti.