Wajahsiberindonesia.com – Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan kepentingan perdagangan nasional di kancah global. Tiga menteri dari Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, diketahui melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat. Salah satu misi utama mereka adalah membahas kelanjutan tarif ekspor-impor yang dikenakan AS terhadap produk Indonesia—tarif yang berasal dari era Presiden Donald Trump.
Kebijakan tarif yang dimaksud merupakan bagian dari sisa kebijakan dagang proteksionis AS yang masih berlaku hingga kini. Beberapa komoditas unggulan Indonesia, seperti produk baja, aluminium, dan karet, masih dikenai bea masuk tinggi oleh Amerika. Hal ini dianggap merugikan daya saing produk RI di pasar global, terutama di AS sebagai salah satu pasar utama ekspor Indonesia.
Dalam pertemuan dengan perwakilan dagang AS (USTR) dan sejumlah pejabat penting Washington, para menteri membawa pesan tegas: Indonesia menuntut keadilan dagang yang setara. Pemerintah berharap AS mulai mempertimbangkan penghapusan atau setidaknya pelonggaran tarif tersebut, apalagi mengingat hubungan strategis dan kerja sama ekonomi kedua negara yang terus tumbuh.
Selain isu tarif, delegasi Indonesia juga akan menyoroti peluang peningkatan investasi dan penguatan rantai pasok strategis, terutama di sektor mineral kritis dan energi terbarukan. Dengan posisinya sebagai pemasok penting nikel dan bahan baku baterai kendaraan listrik, RI berharap bisa membangun kemitraan baru yang saling menguntungkan.
Langkah ini dinilai penting di tengah ketegangan perdagangan global dan arah kebijakan AS yang semakin fokus pada penguatan industri dalam negeri. Indonesia tidak ingin hanya menjadi pemasok bahan mentah, tapi ingin ditempatkan sebagai mitra strategis dalam ekosistem industri global, termasuk untuk sektor teknologi dan manufaktur hijau.
Kunjungan tiga menteri ini mencerminkan pendekatan diplomasi ekonomi yang lebih agresif dari Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa era saling menunggu sudah berakhir. Kini, Indonesia bergerak proaktif untuk memastikan kepentingan nasional terlindungi, terutama di tengah dinamika global yang terus berubah.