ERP di Jakarta: Langkah Berani Atasi Macet atau Sekadar Tambah Masalah?

Wajahsiberindonesia.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mengangkat skema Electronic Road Pricing (ERP) sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan kronis di ibu kota. Skema ini dirancang untuk mengenakan tarif kepada kendaraan pribadi yang melintasi jalan tertentu pada jam sibuk. Harapannya, masyarakat akan beralih ke transportasi umum sehingga lalu lintas menjadi lebih lancar. Namun, benarkah ERP akan jadi solusi efektif, atau justru menambah deretan persoalan baru?

Sebagai kota megapolitan dengan hampir 11 juta jiwa penduduk, Jakarta sudah lama bergulat dengan masalah kemacetan. Menurut data Dinas Perhubungan DKI, sekitar 24 juta perjalanan kendaraan terjadi setiap hari. ERP dinilai sebagai “rem” yang dibutuhkan untuk mengendalikan laju kendaraan pribadi. Sistem ini bukan hal baru negara-negara seperti Singapura dan London telah membuktikan keberhasilannya dalam mengurangi volume kendaraan di pusat kota.

Namun, situasi di Jakarta memiliki tantangannya sendiri. Sistem transportasi publik yang belum sepenuhnya terintegrasi masih menjadi kendala besar. Banyak warga yang merasa belum memiliki alternatif nyaman dan aman jika harus meninggalkan kendaraan pribadi. Bila ERP diterapkan sebelum sistem transportasi publik siap, maka yang terjadi bisa saja bukan peralihan, melainkan pemaksaan yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat.

Di sisi lain, isu keadilan sosial pun mencuat. Kebijakan ERP berpotensi memukul kelompok masyarakat menengah ke bawah yang terpaksa menggunakan kendaraan pribadi karena keterbatasan akses transportasi umum. Bagi kalangan berpenghasilan tinggi, tarif ERP mungkin tak jadi soal. Namun bagi pekerja dengan pendapatan pas-pasan, kebijakan ini bisa terasa menekan.

Pemerintah perlu transparan dalam proses sosialisasi dan implementasi. Warga harus tahu: berapa tarif yang akan dikenakan, jalan mana saja yang terkena ERP, serta kemana dana ERP akan dialokasikan. Jika dana itu digunakan untuk memperbaiki transportasi publik secara signifikan, maka akan ada legitimasi dan dukungan publik. Namun jika tidak, kebijakan ini bisa dianggap sebagai pungutan yang tidak berpihak pada rakyat.

ERP bisa jadi langkah berani untuk mengurai benang kusut kemacetan Jakarta, tapi tanpa pendekatan yang menyeluruh dan berpihak pada kepentingan publik, ia bisa berubah menjadi masalah baru. Jalan keluar bukan sekadar memaksa warga membayar lebih, tapi menciptakan sistem mobilitas kota yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan.