Wajahsiberindonesia.com – Indonesia menempati peringkat teratas sebagai negara dengan waktu penggunaan internet terlama di dunia. Rata-rata, masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari delapan jam sehari di dunia maya, jauh melampaui rata-rata global. Ini menunjukkan betapa dominannya peran internet dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali. Namun di balik angka fantastis ini, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: apakah kita benar-benar melek digital?
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai generasi swipe up—generasi yang hidup dengan jempolnya, berpindah dari satu konten ke konten lain tanpa jeda. Mereka cepat, aktif, dan terkoneksi sepanjang waktu. Namun, kecepatan ini tak selalu diiringi kedalaman. Informasi datang silih berganti tanpa sempat disaring. Akibatnya, banyak pengguna internet yang terjebak dalam arus hoaks, disinformasi, dan polarisasi opini tanpa landasan fakta yang kuat.
Literasi digital bukan sekadar bisa menggunakan gawai atau aplikasi media sosial. Literasi digital mencakup kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang diterima, memahami etika digital, serta sadar terhadap jejak digital yang ditinggalkan. Sayangnya, kemampuan ini belum merata. Banyak yang pintar mengoperasikan ponsel, tapi tak cukup cakap membedakan mana berita dan mana opini, mana fakta dan mana propaganda.
Tantangan lainnya adalah budaya viral. Dalam masyarakat yang semakin terdorong untuk menjadi “yang pertama tahu” atau “yang pertama membagikan”, akurasi seringkali dikorbankan. Banyak konten menyebar luas hanya karena sensasional, bukan karena kebenarannya. Ini memperburuk ekosistem digital kita, terutama ketika berita bohong menjadi alat untuk memecah belah atau memanipulasi opini publik.
Solusinya tak cukup hanya dengan meningkatkan akses internet. Kita perlu pendidikan literasi digital yang menyeluruh, mulai dari sekolah dasar hingga masyarakat umum. Pemerintah, sekolah, media, dan platform digital harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem yang sehat. Kampanye bijak bermedia sosial, pelatihan cek fakta, serta penghargaan terhadap jurnalisme berkualitas perlu digencarkan.
Menjadi bangsa yang paling lama online seharusnya menjadi kebanggaan, bukan justru menyisakan kegelisahan. Mari ubah kebiasaan konsumsi digital kita dari sekadar “menyukai dan membagikan” menjadi “memahami dan memverifikasi”. Generasi swipe up akan menjadi kekuatan besar jika dibekali dengan pemahaman yang mendalam dan tanggung jawab dalam berinternet. Karena di era digital, literasi adalah kekuatan.