Ketika Kota Menjadi Magnet dan Desa Kehilangan Harapan

Wajahsiberindonesia. com , Jakarta, 18 Juli 2025 – Suara azan subuh baru saja berkumandang ketika Yuni (24), seorang pekerja di sebuah pabrik garmen kawasan industri Cikarang, sudah bersiap dengan seragamnya. Ia tinggal bersama empat rekannya di sebuah kamar kontrakan berukuran 3×4 meter. Ruangan sempit itu bukan hanya tempat tidur, tapi juga dapur, ruang makan, dan tempat melepas penat setelah 12 jam bekerja.

“Kalau di kampung, sih, luas tanah banyak, tapi kerjaannya susah. Di sini padat, mahal, tapi ya… ada gaji tetap tiap bulan,” ujar Yuni, yang merantau dari Grobogan, Jawa Tengah.

Yuni hanyalah satu dari jutaan warga Indonesia yang meninggalkan desa untuk mengadu nasib di kota. Dalam 20 tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan besar dalam pola persebaran penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2000 hanya sekitar 42% penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan. Namun pada tahun 2024, angka itu melonjak menjadi 56,7%—lebih dari separuh populasi nasional.

Urbanisasi: Antara Harapan dan Tantangan

Urbanisasi memang bukan hal baru, tapi laju pergerakannya kini menjadi perhatian serius para perencana pembangunan. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, hingga Makassar menghadapi tekanan infrastruktur dan sosial akibat pertumbuhan penduduk yang cepat.

“Lonjakan penduduk kota memperberat beban transportasi, kesehatan, dan perumahan. Kita mulai melihat munculnya kantong-kantong kemiskinan baru di pinggiran kota,” jelas Dr. Ratna Hidayati, peneliti kependudukan dari LIPI.

Data dari Kementerian PUPR menunjukkan, kebutuhan akan rumah layak huni di kawasan urban mencapai 11,4 juta unit pada tahun 2024. Namun, penyediaan rumah belum bisa mengejar kecepatan permintaan. Akibatnya, kawasan kumuh tumbuh bak jamur di musim hujan.

Di sisi lain, kota juga menjadi magnet mimpi. Ketersediaan lapangan kerja, akses pendidikan, dan gaya hidup modern membuat generasi muda desa berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman.

Desa Kian Sepi, Usia Produktif Menghilang

Dampak dari urbanisasi yang tidak merata dirasakan langsung di pedesaan. Banyak desa kini kehilangan penduduk usia produktif. Yang tersisa kebanyakan anak-anak dan lansia. Lahan pertanian mulai terbengkalai, dan aktivitas ekonomi lokal menyusut.

“Dulu, setiap musim panen kami butuh 30-40 orang. Sekarang paling dapat 10. Sisanya sudah pindah ke kota,” kata Pak Tarjo, seorang petani padi di Bojonegoro.

Ironisnya, migrasi ini tidak selalu berujung pada kesejahteraan. Banyak yang akhirnya bekerja serabutan, hidup pas-pasan, bahkan terlilit utang akibat biaya hidup kota yang tinggi. Mereka yang pulang kampung pun seringkali merasa “kalah” karena tak mampu bertahan di kota.

Pemerintah dan Tantangan Pemerataan

Pemerintah tak tinggal diam. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah menekankan pembangunan berbasis wilayah. Salah satunya lewat program Desa Cerdas dan perluasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di luar Jawa.

“Pemerataan pembangunan adalah kunci menekan migrasi yang tak terkendali. Kita ingin desa menjadi tempat yang layak untuk tumbuh dan sukses, bukan hanya tempat ditinggalkan,” tegas Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.

Program digitalisasi layanan desa, insentif untuk UMKM, serta peningkatan infrastruktur pedesaan diharapkan bisa menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Namun, keberhasilan ini sangat tergantung pada pelibatan masyarakat dan konsistensi kebijakan lintas kementerian.

Antara Masa Kini dan Masa Depan

Jika tren ini berlanjut tanpa perbaikan distribusi pembangunan, Indonesia akan menghadapi tantangan besar: ketimpangan wilayah, ledakan penduduk kota, dan kemunduran desa. Menata keseimbangan antara kota dan desa bukan sekadar soal angka, melainkan menjaga jantung sosial dan budaya bangsa agar tetap berdetak seirama.