Wajahsiberindonesia.com, Jakarta – Dalam dokumen roadmap NTD (Neglected Tropical Diseases) 2021-2030, dengue termasuk dalam target 20 penyakit dan kelompok penyakit yang akan dicegah dan dikendalikan. Target penanggulangan dengue adalah menurunkan angka kematian dari 0,8 persen pada 2020 menjadi 0 persen pada 2030.
Roadmap itu menjelaskan 3 critical action untuk mencapai target penanggulangan dengue pada 2030, yang meliputi, mengembangkan vaksin, meningkatkan efektivitas strategi pengendalian vektor berbasis bukti ilmiah, dan berkolaborasi dengan sektor lingkungan untuk menurunkan habitat nyamuk.
Demikian sambutan yang disampaikan oleh NLP Indi Dharmayanti selaku Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Talk To Scientists mengusung tema Perkembangan Pengendalian Vektor Dengue di Indonesia: Tantangan dan Harapan, pada Sabtu (25/11/2-23).
Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, termasuk di dalam family Flaviviridae, dan terdapat 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengue ini ditularkan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk ini juga menularkan virus chikungunya, demam kuning, dan infeksi zika.
Dia menambahkan, dengue adalah infeksi virus yang menyebar dari nyamuk ke manusia, dan lebih sering terjadi di daerah beriklim tropis dan sub tropis, dan dapat menyebabkan kematian. “Dalam beberapa dekade terakhir, kejadian demam berdarah telah mengalami secara dramatis. Kasus yang dilaporkan WHO meningkat, dari 505.430 kasus pada 2000 menjadi 5,2 juta kasus pada 2019. Diperkirakan terjadi sekitar 390 juta infeksi virus dengue per tahun, 96 juta di antaranya bermanivestasi secara klinis,” kata Indi dalam keterangannya dikutip dari laman BRIN di Jakarta, Minggu (26/11/2023).
Penyakit ini, tambahnya, sekarang telah menjadi endemik di beberapa negara, hampir di 100 negara wilayah WHO, seperti Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Wilayah Amerika, Asia Tenggara, dan Asia tampaknya mewakili sekitar 70 persen dari beban penyakit secara global. Kasus infeksi dengue di Indonesia juga cenderung meningkat setiap tahunnya.
“Urbanisasi sering dikaitkan dengan transmisi penyakit demam berdarah melalui berbagai faktor sosial dan lingkungan, seperti kepadatan penduduk, mobilitas manusia, akses ke sumber air, penyimpanan air, dan lain-lain. Risiko masyarakat terhadap demam berdarah juga tergantung pada pengetahuan, sikap, dan juga praktek terhadap DBD. Di samping itu juga pelaksanaan kegiatan pengendalian vector berkelanjutan secara rutin di masyarakat,” ucapnya.
“WHO memiliki komitmen untuk menanggulangi dengue terutama melalui suatu peta jalan untuk penyakit tropis terabaikan. Pada 2020, komitmen global ini menurunkan angka kematian akibat dengue minimal 50 persen, dan menurunkan angka kesakitan dengue minimal 25 persen,” tegasnya.
Triwibowo Ambar Garjito dari Organisasi Riset Kesehatan BRIN menjelaskan, penyebaran Ae. Aegypti di dunia, awalnya berasal dari Sub-sahara Afrika, dan habitat utamanya adalah lubang pohon dan hewan non manusia sebagai sumber pakan darah. Pada abad 17 dan 18, spesies ini mampu berkembangbiak di luar Afrika dengan baik setelah terbawa kapal perdagangan budak Portugal dan Spanyol dari ke dunia baru.
“Kemampuan untuk berkembang biak pada man-made container menyebabkan Ae. Aegypti mudah menyebar ke berbagai wilayah di dunia. Spesies tersebut kemungkinan besar menyebar melintasi Pasifik hingga ke Asia dan Australia. Saat ini, bentuk nenek moyangnya masih ada di hutan dan ekoton bervegetasi di Afrika sub-sahara disebut dengan nama sub spesies Formosus,” ulasnya.
Berbagai pencegahan dan pengendalian dengue, menurutnya, ketika vaksin yang efektif masih dalam tahap penelitian, pengendalian vektor merupakan satu-satunya jalan dan metode yang paling penting untuk mencegah dan mengendalikan penularan dengue. WHO merekomendasikan surveilans vektor untuk memonitor kepadatannya, sebagai dasar, dan bahan evaluasi pelaksanaan pengendalian vektor.
“Ada beberapa metode untuk pengendalian vektor, antara lain mengurangi densitas vektor dengan PSN, larvaciding, pengendalian biologis, dan penyemprotan ruangan. Mengurangi kemampuan bertahan dan lama hidup vector dengan alat perangkap telur vektor, lethal ovitrap, dan penyemprotan ruangan. Mengurangi kontak manusia dan vektor, seperti bednet, house-screening, repellent, dan household insecticide products,” urainya.
Dia membeberkan, berbagai tempat perkembangbiakan aedes aegypti, yaitu tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, misalnya drum, tangka reservoir, tempayan, bak mandi/wc, ember, dan lalin-lain.
“TPA bukan untuk keperluan sehari-hari, contohnya tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas, misalnya ban, kaling botol, dan sebagainya. Tempat penampungan alami, yaitu lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu. Sumur dengan kedalaman 1,7 s/d 15 meter,” bahasnya.
Dirinya mengungkapkan, berbagai inovasi yang telah dilakukan dalam pengendalian vektor, antara lain pelepasan Jantan mandul dengan skala terbatas. “Penggunaan biological control, skala terbatas cukup efektif, namun masih sulit diimplementasikan dalam skala luas. Autocidal ovitrap, dilaporkan dapat menurunkan populasi nyamuk, keberhasilan tergantung dari jumlah dan lokasi penempatan,” ujarnya.
Selanjutnya, uji coba aplikasi larvasida pada reservoir PDAM, hasilnya cukup dramatis dalam menurunkan indeks jentik, namun dapat memicu terjadinya percepatan resistensi larvasida terhadap vektor DBD.
”Inovasi lainnya, pelepasan mesocyclop di tempat penampungan air dengan peran serta masyarakat, berjalan cukup baik dan efisien di lokasi studi namun keberlanjutan sulit dilakukan. Masyarakat harus memelihara mesocyclop sebelum diaplikasikan,” ungkapnya.
Sumber: Infopublik