Tanjung Gundap: Bayang-Bayang Kejahatan yang Menghantui

Wajahsiberindonesia.com, Batam – Tanjung Gundap, sebuah kawasan pesisir yang dulunya damai dan bersahaja, kini telah bertransformasi menjadi ladang kejahatan yang merajalela. Rokok ilegal, onderdil motor gede, hingga balpres bekas meluncur tanpa hambatan, menjadikan negeri ini seolah tak bertuan. Di tengah kekacauan ini, satu nama mencuat: HS, sosok yang dijuluki raja dalam bayang-bayang.

Siapa yang melindungi HS?

Pelabuhan kecil di Tanjung Gundap kini berfungsi sebagai pelabuhan hantu, tempat barang-barang ilegal keluar masuk seolah tak terjamah hukum. Truk-truk besar beroperasi tanpa henti, sementara kapal-kapal kecil bersandar tanpa pemeriksaan. Razia? Penyitaan? Kehadiran aparat? Semua itu sirna; negara seolah menghilang dari peta.

Warga hidup dalam ketakutan. Sebuah kata yang salah bisa berujung tragis. Premanisme menjadi alat penindasan yang membungkam suara-suara kritis. Di balik semua ini, HS diduga mengendalikan skenario gelap dengan uang, kekuasaan, dan perlindungan dari oknum aparat dan birokrat.

“Ini bukan sekadar kriminal biasa. Ini mafia. Terorganisir dan dilindungi,” ungkap sumber internal yang identitasnya kami rahasiakan demi keselamatan.

Sorotan utama tertuju pada Bea Cukai Batam, lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan penyelundupan. Namun, kenyataannya? Semua barang ilegal lolos tanpa jejak. Rokok, balpres, onderdil moge—semuanya melintas seolah tanpa negara.

Tidak ada langkah hukum terhadap operasi HS yang diketahui publik. Tidak ada pengungkapan, penyegelan, atau tindakan tegas. Hanya ada kebisuan yang menggema, menandakan satu hal: sistem telah dibajak.

Jika mereka tahu dan tak bertindak, itu pengkhianatan. Jika tidak tahu, itu kelalaian. Keduanya adalah dosa berat terhadap negara.

Lebih mencengangkan, HS tidak beroperasi sendiri. Ia terhubung dalam jaringan penyelundupan nasional. Pada April 2025, dalam sebuah kasus besar di Pelabuhan Batu Ampar, aparat menemukan mobil mewah dan 30 Harley Davidson yang diselundupkan dengan dokumen fiktif sebagai “sepatu dan plastik,” atas nama PT Asya Terbit Berjaya (ATB).

Barang-barang tersebut diarahkan ke Limanda Industries, Tanjung Sengkuang, sebelum dikirim ke Pekanbaru dan Jakarta. Pengendali penyelundupan ini berinisial VC dan B, bekerja sama dengan H dan TS, jaringan senior dalam sindikat lama Batam.

Nama HS disebut terlibat dalam transaksi logistik dan keamanan jalur distribusi.

Polisi, TNI AL, Bea Cukai, Kejaksaan—semuanya terdiam. Tak ada penyidikan, OTT, atau sidak. HS seolah hidup dalam benteng kekebalan hukum yang dibangun oleh sistem yang telah membusuk.

Ironisnya, Presiden Prabowo Subianto baru saja menegaskan bahwa penyelundupan adalah “musuh ekonomi bangsa dan perusak kedaulatan negara.” Namun, di Batam, pernyataan itu seolah hanya angin lalu.

Masyarakat Tanjung Gundap menjadi korban utama. Mereka terperangkap dalam ketakutan. Intimidasi, kekerasan, dan ancaman telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang premanisme yang dianggap norma baru. Semua demi menjaga kendali satu sosok: HS.

“Kami tidak percaya lagi pada hukum. Semua pura-pura tidak lihat,” ungkap salah satu warga yang meminta identitasnya disembunyikan.

Fransisco Chrons